Humor Dokter Ahli Saraf | Sejarah Perkembangan Bedah Saraf | Periode Bedah Saraf

Dalam pengalaman saya, setiap menyelesaikan suatu tulisan, baik berupa buku maupun artikel untuk majalah atau koran, saya selalu merasa ada kekurangan yang membuat saya tidak puas. Kadang-kadang saya merasa isi kurang sempurna, beberapa istilah kurang tepat, bahkan bahasa pun kurang indah, sehingga saya khawatir maksud dan tujuan yang ingin dicapai tidak tersampaikan dengan baik kepada sasarannya, yaitu pembaca. 

Segala sesuatu yang tertuang di sini adalah kisah nyata, berupa hasil kerja sendiri maupun kerja sama antarpetugas yang turut menangani masalah. Selain itu, karya ini juga diperkaya dengan kutipan-kutipan dari sejarah, pening­galan-peninggalan ilmu, dan pelajaran dari senior sejawat. Kisah-kisah yangsaya ceritakan merupakan kumpulan peng­alaman dalam 3 periode kehidupan saya sebagai dokter ahli bedah saraf, yaitu periode saya tinggal di Jepang, periode saya bekerja di rumah sakit BUMN, dan periode saya aktif bekerja di rumah sakit swasta. 

Gaya penulisan cerita ini ringan, karena buku ini ditu­jukan untuk masyarakat awam sebagai tambahan penge­tahuan terhadap ilmu kedokteran, khususnya di bidang Ilmu Bedah Saraf. Pada prinsipnya, dalam buku ini, saya berusaha menceritakan dan menambahkan banyak hal yang berkaitan dengan kerumitan otak, namun dikemas de­ngan bahasa yang sederhana, agar orang-orang yang bukan dokter atau yang belum pernah belajar Ilmu Bedah Saraf menjadi paham dan mengerti. 
Jadi melalui tulisan-tulisan ini, saya mengajak pembaca "menginceng" (mengintip) otak dari kaca mata seorang ahli bedah saraf: apa saja fungsi otak itu, penyakit/kerusakan apa saja yang dapat timbul, dan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerusakan tersebut. 

Pada kesempatan ini, tidak lupa saya in gin mengucapkan terima kasih kepada dr. Ingrid A. Widjaya yang ikut mem­bantu menyusun tulisan-tulisan ini dari awal hingga selesai penerbitan, sekaligus membuat gambar-gambar kartun sehingga memperlunak isinya. Mudah-mudahan buku ini dapat berguna untuk pembaca dari semua kalangan. 

Indahnya impianku 
Selalu seperti khayalan saja 
Yang dihadapi sehari-hari
Engkaulah yang menjadi penentu 

Penulis
Prof. Dr. dr. Satyanegara, Sp.BS 
Ahli Bedah Saraf 

SEJARAH PERKEMBANGAN BEDAH SARAF 

Sejarah akan mencatat karya manusia yang akan dinilai sebagai dasar yang cocok dipakai baik untuk saat sekarang maupun di kemudian hari.
Istilah bedah saraf yang berasal dari bahasa Inggris neurosurgery, adalah salah satu bidang ilmu kedokteran yang menangani penyakit dan kelainan susunan saraf pu­sat melalui tindakan operasi. Bidang bedah saraf ini sebenarnya mulai dikenal oleh masyarakat awam ketika pada 1965 televisi menyiarkan film seri berjudul dr. Ben Casey. Film tersebut bercerita tentang kehidupan seorang ahli bedah saraf. Dewasa ini di Indonesia pun, bidang bedah saraf sudah tidak asing lagi, bahkan mulai dipercaya. 

Pekerjaan ahli bedah saraf tidaklah sama dengan pekerjaan ahli penyakit saraf (neurolog) ataupun ahli penyakit jiwa (psikiater). Bidang bedah saraf telah berkembang melalui pelbagai ujian dalam periode sejarahnya sendiri. Secara garis besar, bidang bedah saraf mengalami 3 periode perkembangan sejak zaman sebelum Masehi. 

Periode pertama (Periode Primitif) ditandai dengan penemuan tengkorak-tengkorak manusia yang berlubang akibat bekas operasi pada Zaman Batu Baru (±3000 SM) di daratan Eropa. Sangat disayangkan, catatan-catatan tertulis mengenai hal ini tidak ditemukan. Namun demikian, menurut cerita dari buku-buku, diperkirakan operasi tersebut dilakukan pada penderita-penderita penyakit ayan (epilepsi). Pada saat itu, penderita-penderita epilepsi dianggap mengidap setan di kepalanya, sehingga perlu dikeluarkan dengan cara membuat lubang di kepalanya (tengkorak) untuk mengusir setan yang bersembunyi di situ. 
Di daratan Cina, juga dilakukan operasi-operasi otak, yaitu oleh Hua Tuo (170-200 SM), seorang dokter termasyhur pada zaman Perang Tiga Negara (Sam Kok). Pada waktu itu, ia menjabat sebagai dokter pribadi raja bernama Cau Jau. 

Konon, ia melakukan penanganan terhadap kasus-kasus bekuan darah dalam tengkorak (hematom) sebagai akibat korban perang. Namun akhirnya, ia ditangkap karena dianggap merencanakan pembunuhan terhadap raja (ia menganjurkan untuk melakukan operasi terhadap raja yang sering mengeluh sakit kepala hebat karena ia memperkirakan adanya bekuan  darah di kepala). Hua Tuo akhirnya meninggal di penjara, dan buku-buku serta catatan-catatannya habis dibakar, sehingga musnah pula informasi tentang pembedahan otak pada zaman itu. Alhasil, informasi tentang pembedahan otak pada zaman itu hanya diperoleh melalui beberapa muridnya, dan dari situ, dapat diketahui bahwa ternyata ia juga telah melakukan operasi pada kasus-kasus tumor otak. 

Selain contoh-contoh di atas, praktik bedah saraf juga terekam di beberapa tempat lain. Di benua Asia lainnya, yaitu India antara 565-483 SM, Jivaka, dokter pribadi Buddha Sidharta Gautama telah tercatat melakukan operasi otak untuk penyakit cacing (parasitoma). Di Yunani, Hippocrates (463-377 SM) adalah salah satu di antara para ahli yang mendalami dan membuat klasifikasi keretakan tengkorak sesudah cedera kepala. 

Periode kedua (Periode Modern) dimulai di Amerika, ketika Harvey William Cushing (1869-1938) menyempurnakan bidang bedah saraf dalam teknik operasi, dan mendalami patologi anatomi tumor otak. Karena itu, ia telah membuka era baru bagi bedah saraf dalam ilmu kedokteran, dan ia diangkat sebagai Bapak Pelopor Bedah Saraf Modern. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, pada hari ulang tahunnya yang ke-100, tahun 1969, diadakan perayaan besar-besaran di New York dan dihadiri oleh para ahli bedah saraf sedunia. 

Pada periode ini, bedah saraf mengalami modernisasi. Selain penyempurnaan cara-cara operasi, modernisasi ini juga meliputi penyempurnaan pemeriksaan diagnostik. Perkembangan ini semakin pesat 20-30 tahun terakhir ini. 

Periode ketiga (Periode Penyempurnaan), yang meru­pakan puncak modernisasi, ditandai dengan lahirnya Brain Computed Tomography Scan (CT Scan). Pada 1969, CT Scan untuk pertama kali dibuat oleh G.N. Hounsfield di Inggris, dan mulai diperkenalkan di dunia pada 1971. Periode ini merupakan periode revolusi, sebab mulai saat ini diagnosis anatomis dapat diperoleh dengan cepat dan tepat tanpa memberikan beban penderitaan kepada pasien, misalnya dengan memasukkan kontras dalam peredaran darah. Hounsfield berhasil mendapatkan hadiah Nobel di bidang kedokteran pada tahun 1979. 

Pelayanan bedah saraf Indonesia dimulai 1948 di Klinik Bedah Saraf Rumah Sakit Princess Margriet, Jalan Raden Saleh Jakarta oleh dokter-dokter dari Palang Merah Belanda. Sedangkan, pendidikan asisten di dalam negeri dimulai sejak 1964 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pada saat itu, bedah saraf belum terpisah dari bagian bedah umum. Bidang bedah saraf Indonesia memasuki era baru pada awal 1972, seiring dengan berdirinya bedah saraf sebagai unit fungsional kesehatan tersendiri di pelbagai rumah sakit, salah satunya RS Pusat Pertamina pada bulan Desember 1972. 

Pelbagai kemajuan teknologi mulai diterapkan, seperti pemasangan CT Scan untuk pertama kalinya di RS Gatot Subroto pada Februari 1980, penggunaan sinar laser untuk pembedahan otak di RS Pusat Pertamina, penggunaan Mag­netic Resonance Imaging (MRI) di RSCM yang disusul RS Pusat Pertamina pada 1990, dan pemasangan Digital Sub­straction Angiography (DSA) untuk mendiagnosis kelainan pembuluh darah otak di RS Pusat Pertamina pada Mei 1992. 

Saat ini, bedah saraf di Indonesia sudah sangat berkembang, jangkauan pelayanannya pun sudah hampir meliputi selu­ruh Indonesia. Sudah banyak rumah sakit maupun universitas negen maupun swasta yang memiliki fasilitas bedah saraf. Bahkan, terdapat beberapa pusat pendidikan bedah saraf di Indonesia, yaitu di Universitas Indonesia, Jakarta; Universitas Padjajaran, Bandung; Universitas Airlangga, Surabaya; dan Universitas Sumatera Utara, Medan. Saat ini, saya sendiri menjabat sebagai Direktur Senior Rumah Sakit Satya Negara, Direktur Senior Mayapada Healthcare, dan Direktur Kehormatan Sa­hid Saherman Memorial Hospital, Jakarta.

Mengenai kasus-kasus bedah saraf saat ini, baik di dunia maupun di Indonesia, menunjukkan makna yang cukup ba­nyak dan cenderung meningkat jumlahnya. Di antara kasus­kasus itu disebutkan di bawah ini. 

1. Kasus tumor otak

Berdasarkan data statistik Central Brain Tumor Registry of United States (2005-2006) angka insidensi (kejadian) tahunan tumor dalam kepala (intrakranial) di Amerika adalah 14,8 per 100.000 populasi per tahun, di mana pen­derita wanita lebih banyak (15,1) dibanding dengan pria (14,5). Data insidensi dari negara-negara lainnya berkisar antara 7-13 per 100.000 populasi per tahun (Jepang 9/100.000 populasi/tahun; Swedia 4/100.000 populasi/ tahun). Insidensi tumor otak primer bervariasi sehubungan dengan kelompok umur penderita. Angka insidensi ini mulai cenderung meningkat sejak kelompok usia dekade pertama, yaitu dari 2/100.000 populasi/tahun pada kelompok umur 10 tahun menjadi 8/100.000 populasi/tahun pada kelompok usia 40 tahun; dan kemudian, jumlah ini meningkat tajam menjadi 20/100.000 populasi/tahun dan kelompok usia 70 tahun 18,1/100.000. 

2. Kasus cedera kepala

Di negara rnaju seperti di Amerika, cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak untuk kelompok usia mu­da (15-44 tahun), dan penyebab kernatian ketiga secara keseluruhan. Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelornpok usia produktif, yaitu 15-44 tahun (dengan usia rata-rata sekitar 30 tahun) dan didorninasi kaurn laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (49%), dan disusul dengan jatuh (terutama pada kelompok usia anak-anak). Dernikian juga di Jepang, angka kematian mencapai 20.000 orang per tahun pada 1987. Di Indonesia sendiri, khususnya di Jakarta, angka kematiannya berkisar antara 30-50 orang per bulan (data Korndak Metro Jaya).

3. Kasus kelainan bawaan

Abnormalitas bawaan susunan saraf pusat adalah salah satu kelompok dari kasus cacat kongenital (bawaan lahir) yang paling menonjol, salah satunya adalah kasus hidrosefalus (busung kepala). Insidensi hidrosefalus kongenital sebesar 1 kasus per 1000 kelahiran hidup. DiAmerika Serikat, kejadian hidrosefalus keseluruhan pada saat kelahiran sebesar 0,5-4 per 1.000 kelahiran hidup. Prevalensi hidrosefalus di dunia juga cukup tinggi, di Belanda dilaporkan terjadi sekitar 0,65 kasus per mil per tahun dan di Amerika sekitar 2 per mil per tahun. Sedangkan di Indonesia, mencapai 10 permil per tahunnya. Hasil studi retrospektif pada bagian bedah saraf di Indonesia juga menunjukkan 4-5% dari seluruh kasus adalah cacat otak bawaan dengan distribusi kasus: sefalokel 80%, hidrosefalus kongenital 10%, dan cacat bawaan lain 10%. Namun saat ini, kemajuan penggunaan ultrasonografi (USG) dapat mendeteksi kelainan janin sebelum lahir, sehingga megurangi jumlah kelainan bawaan waktu lahir.

4. Kasus-kasus penyakit pembuluh darah otak 

Kasus-kasus penyakit pernbuluh darah otak cukup tinggi pula frekuensinya, salah satunya adalah stroke, yang merupakan penyebab kecacatan pertarna dan penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker, yaitu 10% dari 55 juta kernatian per tahun di dunia. Sebu­ah penelitian pada tahun 2010 menunjukkan bahwa stroke menempati urutan pertama penyebab kematian utama semua umur di Indonesia dengan prevalensi sebesar 8,3 per 1.000 penduduk. Perolehan angka-angka ini dipermudah karena adanya Computed Tomography Scan Angiography (CT Scan Angiografi), Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan Magnetic Resonance Angiography (MRA), sehingga kasus­kasus ini lebih mudah dideteksi.

Mengenai teknik operasi, perkembangan ilmu dasar kedokteran dan alat-alat yang modern akhirnya mengubah pandangan terhadap pembedahan otak yang pada saat ini hampir disamakan dengan operasi-operasi lain.
Semasa saya baru mulai membedah otak, pembedahan dilakukan dengan teknik kraniotomi, yaitu membuka tengkorak selebar mungkin untuk mempermudah pengambilan benda yang mengganggu otak dan memberi ruang longgar yang lebih besar untuk otak yang mengalami pembengkakan setelah tindakan operasi yang disebut operasi dekompresi. Munculnya teknik microscopic neurosurgery untuk operasi bedah saraf dapat membuka tengkorak lebih kecil, dan me­lihat ke dalam otak lebih jelas, terutama pada penyakit­penyakit pembuluh darah otak. Kemudian selangkah lagi, pembukaan tengkorak dapat semakin diperkecil dengan cara keyhole craniotomy, yang dipelopori oleh Profesor Fuku­shima dari Universitas Tokyo, dua angkatan di bawah saya.

Akhir-akhir ini, muncul endoscopic neurosurgery, yaitu teknik operasi menggunakan pipa panjang berkeker dengan diameter kecil, berfungsi seperti mata yang dipasang di ujung alat tersebut, sehingga melalui lubang kecil dapat melihat tepat menuju sasaran. Operator hanya perlu melihat sasaran tersebut melalui monitor TV Alat ini menggantikan mata operator yang biasanya melihat dari luar tengkorak menjadi masuk ke dalam tengkorak. Periode ini merupakan periode revolusi kedua di bi dang bedah saraf.

Alat-alat untuk mendiagnosis penyakit otak pada saat saya masih menjadi residen (training) di bagian bedah saraf juga masih menggunakan jarum yang ditusukkan ke pembuluh darah di leher untuk memasukkan 02 (oksigen/ hawa), melalui pungsi lumbal ke dalam rongga otak, atau dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah pneumo­ensefalografi/pneumoventrikulogran (PEGIPVG), dan yang lain adalah mielografi. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut membuat pasien sangat menderita.

Saat ini dengan adanya Computed Tomography Scan (CT Scan), Computed Tomography Angiography (CT Angiography), Magnetic Resonance Angiography (MRA), dan Digital Sub­straction Angiography (DSA), cara mendiagnosis penyakit otak tidak lagi menimbulkan rasa nyeri (kecuali pada saat penyuntikan kontras), dan lebih jelas dalam menentukan diagnosis sebelum operasi.
Fungsi-fungsi pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut. Dengan menggunakan sinar-X, pemeriksaan CT Scan dapat memperlihatkan struktur otak, termasuk susunan ruangan cairan otak, bentuk, ukuran, serta posisinya. Ketidaknormalan jaringan akan menampilkan perubahan bentuk dan warna pada foto tersebut. Dibandingkan pemeriksaan lain, pemeriksaan ini dapat lebih jelas memperlihatkan struktur tulang tengkorak dan ada atau tidaknya pendarahan di dalam kepala. CT Angiography menggunakan alat CT Scan untuk melihat struktur pembuluh darah otak.

Berbeda dengan CT Scan, MRI menggunakan medan magnet untuk melihat struktur-struktur dalam otak secara jelas clan terperinci dalam pelbagai jenis potongan tanpa perlu mengubah posisi pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga sangat sensitif terhadap proses perubahan kimia pada jaringan otak, sehingga dapat dibedakan waktu terjadinya suatu kelainan: apakah masih baru, agak lama, atau sudah sangat lama. Perkembangan MRI dari kekuatan magnet rendah (low Tesla) ke kekuatan magnet tinggi (high Tesla) memungkinkan penambahan beberapa aplikasi baru, seperti Magnetic Resonance Spectroscopy (untuk melihat kan­dungan kimia suatu kerusakan jaringan otak) dan MRI fungsional otak (untuk melihat fungsi bagian-bagian otak, bagian mana yang aktif, mana yang kurang aktif).

Seperti halnya CT Angiography, MRA juga menggunakan alat MRI untuk melihat struktur pembuluh darah otak secara lebih detail. Sedangkan, DSA merupakan terobosan teknologi mutakhir dari pemeriksaan angiografi, yang dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang lebih jelas dan terperinci serta mampu menghilangkan bayangan latar belakang (tulang belulang).
Demikianlah, sekadar catatan singkat untuk lebih mem­perkenalkan ilmu bedah saraf kepada masyarakat umum sebagai tambahan pengetahuan. 

Postingan Populer

Copyright © Humor. All rights reserved.